Apakah hubungan percintaan kalian bikin sakit hati dan berakhir ambyar? Jika iya, coba pikirkan lagi, apakah kalian terlibat di dalam hubungan toxic relationship?
Tak bisa dipungkiri dalam menjalani hubungan asmara baik itu berpacaran atau pernikahan, kalian pasti pernah menemui sisi ‘toxic’ pasangan. Memang tidak mudah menyatukan dua kepribadian apalagi jika sudah melewati suatu proses yang panjang. Lalu sebenarnya apa sih yang dinamakan ‘toxic relationship’ itu?
Dilansir dari Health Scope, toxic relationship adalah hubungan yang ditandai dengan perilaku-perilaku 'beracun' yang sifatnya merusak fisik maupun emosional diri atau pasangan. Hubungan jenis ini didominasi oleh perasaan tidak aman, egois, dan keinginan untuk memegang kendali. Kondisi tersebut membuat salah satu diantara dua orang dalam hubungan, merasa tertindas. Jika kalian terjebak dalam hubungan seperti ini, jangan anggap remeh. Pasalnya, pola hubungan tersebut dapat menyebabkan berbagai risiko serius bagi pasangan yang terlibat.
Baca juga: 11 Tanda Pacar Kamu Melakukan Gaslighting
Tak jarang mereka yang terlibat dalam toxic relationship memilih bertahan karena kebutuhan afeksi seperti kenyamanan, keamanan, dan kasih sayang. Mungkin kebutuhan afeksi mereka terpenuhi saat menjalani relasi tersebut, tapi sampai kapan kalian akan bertahan dalam ‘toxic relationship’?
Ciri-Ciri Toxic Relationship
Ada beberapa ciri-ciri toxic relationship menurut pshycologytoday.com, yaitu kalian dan pasangan saling menyalahkan hingga saling memanipulasi satu sama lain, cemburu berlebihan hingga akhirnya berujung kebebasan kalian dikekang, mulai ada indikasi kekerasan hingga pengancaman, hubungan yang harusnya saling mendukung menjadi saling berkompetisi, adanya relasi kuasa tentang siapa yang lebih berhak, kalian tidak bisa menjadi diri sendiri jika bersama pasangan, hingga tidak merasa bahagia saat bersama pasangan. Pola hubungan yang beracun seperti ini kerap muncul pada hubungan narsistik yang memiliki pasangan empatik. Lalu apakah itu narsistik dan empatik?
Hubungan Si Narsistik & Si Empatik
Kalian pasti tidak asing saat mendengar kata ‘narsis’. Kata narsis kerap disematkan kepada orang yang memiliki kepercayaan diri terlalu tinggi hingga memunculkan sikap egois pada dirinya. Begitu juga narsistik. Menurut Nevid di bukunya yang berjudul ‘psikologi abnormal’, gangguan kepribadian narsistik (narscissistic personality disorder) adalah rasa bangga atau keyakinan yang berlebihan terhadap diri mereka sendiri dan memiliki kebutuhan ekstrim untuk ingin selalu dipuji. Mereka yang memiliki gangguan ini berharap orang lain melihat kualitas dirinya, bahkan saat prestasi mereka biasa saja. Sayangnya mereka yang memiliki kadar narsistik tinggi, kurang memiliki empati pada orang lain dan selalu ingin jadi pusat perhatian.
Kebalikan dengan narsistik, empatik selalu dikaitkan dengan rasa kepedulian. Mereka yang memiliki kepribadian empatik memiliki rasa peduli yang tinggi apalagi dalam suatu hubungan. Mereka akan sangat peduli terhadap pasangannya hingga muncul perilaku altruisme. Altruisme adalah perilaku tulus peduli pada orang lain hingga memiliki cinta kasih tanpa batas. Sehingga altruisme sangat berlawanan dengan egois yang ada pada karakter narsistik. Bukankah hubungan si narsistik dan si empatik harusnya melengkapi satu sama lain? Lalu mengapa hubungan dua karakter tersebut jika bersatu akan beracun?
Pola Konflik Hubungan Narsistik & Empatik
Sebagian banyak orang mungkin menilai jika hubungan narsistik dan empatik itu saling melengkapi. Namun bagi saya tidak. Pola konflik dalam hubungan narsistik dan empatik selalu sama. Baik dalam berpacaran atau pun pernikahan. Berikut pola hubungan narsistik dan empatik yang dalam hubungan percintaan.
Semua selalu indah di awal
Saya pikir semua orang setuju jika hubungan cinta selalu indah di awal. Mengapa banyak orang berpikir seperti itu? Karena kebanyakan narsistik mencari pasangan empatik, begitu juga sebaliknya. Namun sayang, banyak yang tidak sadar jika hubungan dua karakter ini sangat beracun. Si narsistik sangat mudah memanipulasi perasaan si empatik. Si narsistik akan berusaha sebisa mungkin mendapatkan hati si empatik. Si empatik lalu terbuai bujuk rayu narsistik. Setelah terbuai, si empatik dimanfaatkan oleh si narsistik baik dalam hal materi, seksual, hingga kontrol. Bagi si narsistik, cinta bagai barang yang sekali pakai lalu buang. Sedangkan bagi si empatik, cinta adalah komitmen dan untuk selamanya. Pada akhirnya memang semua hanya indah di awal dan tidak bertahan lama.
Baca juga: Bahaya Pacaran dengan Border Personality
Hubungan si narsistik dan si empatik adalah tentang ‘power’
Saat dua kepribadian ini bersatu, si narsistik selalu menginginkan si empatik melakukan apa yang ia inginkan. Si empatik yang memiliki sifat setia dan penuh kasih sayang akan rela melakukan apa saja untuk si narsistik. Akhirnya hubungan keduanya hanya tentang ‘power’ alias relasi kuasa yang mana pihak narsistik menjadi sosok dominan dan pihak empatik menjadi sosok submisif . Tak jarang hubungan yang dibangun di atas ‘power’ berujung pada kekerasan.
Pola konflik yang sama dan terus berulang
Mungkin banyak orang melihat sejoli dengan dua karakter ini akan sangat serasi karena saling melengkapi. Namun sifat si empatik yang selalu mencoba untuk memahami orang lain, dimanfaatkan oleh si narsistik. Si narsistik akan berulang kali melakukan hal yang sama dan meminta maaf, sedangkan si empatik akan selalu memaafkan. Menurut saya si empatik terlalu naif. Mereka percaya bahwa pengorbanan dan kasih sayang akan merubah si narsistik. Namun realitanya, kalian tidak akan pernah bisa merubah karakter si narsistik. Ingat jangan mencoba menjadi pahlawan yang percaya bisa merubah karakter musuh dengan kebaikan!
Si empatik yang selalu memberi dan Si narsistik yang selalu ambil keuntungan
Si empatik selalu percaya bahwa ia bisa mengubah dunia dengan kebaikan dengan selalu memberi, sedangkan si narsistik mengambil keuntungan dari hal itu. Si narsistik akan memanfaatkan sikap pengertian, lemah lembut, dan peduli yang ada pada diri si empatik. Bahkan si narsistik tidak akan pernah tertarik pada pemikiran positivis si empatik yang selalu percaya hal-hal positif.
Mungkin banyak dari kalian yang memiliki karakter empatik bertahan dengan pasangan yang narsistik. Namun sampai kapan empatik akan bisa mempertahan hubungan dengan narsistik yang melihat kasih sayang adalah suatu bentuk kelemahan. Dear empatik, pikirkan ulang untuk mempertahankan hubungan dengan narsistik. Because pleasing narcissistic is draining and toxic.
Foto: Rawpixel.com for Freepik, Drobotdean for Freepik, Jcomp for Freepik, Pressfoto for Freepik.
The post Toxic Relationship yang Berawal dari Narsistik dan Empatik appeared first on Female Daily.